Minggu, 19 Juni 2011



1.  Konsep Redistribusi Tanah
Di berbagai belahan dunia, Reforma Agraria merupakan jawaban yang muncul terhadap masalah ketimpangan struktur agraria, kemiskinan, ketahanan pangan dan pembangunan perdesaan. Berbagai negara secara beragam mengimplikasikan program pembaruannya sesuai dengan struktur dan sistim sosial, politik dan ekonomi yang dianutnya. Namun demikian terdapat kesamaan cara pandang dalam meletakkan konsep dasar pembaruannya yaitu keadilan dan kesejahteraan rakyat.[1]
Reforma Agraria sebagai strategi dan langkah pembangunan telah terbukti dalam sejarah dan dalam pengalaman negara-negara lain mampu mengatasi persoalan-persoalan mendasar dan sekaligus mampu mewujudkan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan. Banyak negara melaksanakan reforma agraria dengan hasil yang beragam, ada yang berhasil dan ada yang tidak berhasil.
Pemerintah Indonesia melaksanakan reforma agraria dalam arti upaya penertiban dimulai pada tahun 1946 dengan dikeluarkannya kebijakan penghapusan desa-desa perdikan, yaitu desa-desa bebas yang mempunyai hak-hak istimewa, seperti tidak membayar pajak tanah. Kemudian pada tahun 1958, ditebitkan kebijakan penghapusan tanah partikelir, yaitu tanah-tanah yang mempunyai hak pertuanan dan tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10 bouw (7 hektar) secara hukum menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Reforma Agraria dalam arti luas meliputi pelaksanaan:
a.    pembaharuan hukum agraria;
b.    penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas     tanah;
c.    mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;
d.    perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan  hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah;
e.    perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara berencana, sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.[2]
Pelaksanaan yang ke-4 dikenal sebagai kebijakan Land Reform dalam pemahaman atau arti yang sempit terhadap Reforma Agraria, yaitu perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah.
Pada tataran implementasi, istilah land reform sering dipadankan atau diidentikkan dengan istilah agrarian reform atau reforma agraria, karena land reform secara langsung dapat menunjukkan hasil yang lebih nyata melalui perombakan pemilikan dan penguasaan tanah yang lebih berkeadilan dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebagai misal, Elias H. Tuma menyatakan bahwa “dalam praktiknya konsep land reform telah diperluas cakupannya untuk menekankan peran strategis dari tanah dan pertanian dalam pembangunan”, oleh karenanya konsep ini kemudian menjadi sinonim bagi konsep reforma agraria 
Pelaksanakan ke-5 hal tersebut tersebut di atas dalam rangka mengimplementasikan reforma agraria di Indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa reforma agraria dilaksanakan melalui dua jalan,  jalan pertama adalah penataan pada sistem politik dan sistem hukum pertanahan dan keagrariaan. Jalan ini tidak sepenuhnya menjadi tugas dan kewenangan fungsi BPN-RI. Tetapi jalan ini mengharuskan kita untuk dari waktu ke waktu mengembangkan, berinteraksi dan berkomunikasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan ini, baik lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga pemerintah maupun masyarakat.[3]
Jalan yang kedua adalah melalui “land reform plus”, yaitu land reform yang di dalamnya menampung ciri terpenting berupa distribusi dan redistribusi atas aset tanah pada masyarakat yang berhak, yang kemudian disertai pula dengan mekanisme bagi  negara untuk memberikan jalan bagi masyarakat yang ikut dalam program distribusi dan redistribusi ini untuk bisa memanfaatkan tanahnya secara baik.
Terjadinya transfer kekuasaan (transfer of power) dan kesejahteraan (transfer of economic power)  antar kelompok masyarakat secara merata terhadap sumber daya agraria (tanah) adalah cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan land reform[4]. Pelaksanaan land reform untuk tanah-tanah pertanian (daerah pedesaan) dapat dilaksanakan dengan model seperti distribusi tanah, redistribusi tanah, rekonsentrasi tanah dan non redistribusi, sedangkan land reform untuk tanah-tanah di daerah perkotaan dilaksanakan kebijakan konsolidasi tanah daerah perkotaan.





                  Tabel 3. Tipe-tipe dan Implikasi Kebijakan Land Reform
Tipe
Kebijakan
Arah Transfer Kesejahteraan dan
Kekuasaan Berbasis Tanah
Dinamika Perubahan dan Pembaruan

Distribusi

Kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah diterima oleh petani miskin atau tuna kisma, namun kelas tuan tanah tidak kehilangan apapun dalam proses ini; transfer oleh negara

Pembaruan biasanya terjadi di tanah milik negara; dapat mencakup transfer hak untuk mengelienasi ataupun tidak; dapat diterima oleh individu maupun kelompok.


Redistribusi


Transfer kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah dari kelas tuan tanah atau komunitas kepada petani miskin gurem atau tuna kisma


Pembaruan dapat terjadi di tanah privat ; dapat mencakup transfer kepemilikan penuh maupun tidak; dapat diterima oleh individu ataupun kelompok
(Re) konsentrasi
Transfer kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah dari negara, komunitas atau petani gurem kepada tuan tanah, badan-badan perusahaan, negara atau kelompok-kelompok komunitas
Dinamika perubahan dapat terjadi dalam tanah private atau tanah negara; dapat mencakup transfer sepenuhnya maupun kepemilikan penuh atau tidak; dapat diterima oleh individu, kelompok atau badan-badan perusahaan.
Non- (Re) Distribusi
Kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah tetap berada di tangan segelintir kelas tuan tanah atau negara atau komunitas; yaitu tetap bertahannya status quo yang bersifat mengeksklusi petani miskin

Tiadanya kebijakan pertanahan adalah satu kebijakan termasuk di sini juga kebijakan-kebijakan pertanahan yang melegalisasikan klaim-klaim/hak-hak yang mengeksklusi dari kelas tuan tanah atau elit kaya, termasuk negara atau kelompok-kelompok komunitas
            
              Sumber: Joyo Winoto, Pemaparan pembukaan Rakernas BPN-RI, 2010.
  Dalam pelaksanaannya land reform memerlukan program redistribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah secara intensif dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah.[5] Program redistribusi tanah dalam pelaksanaan land reform mempunyai arti pokok yang berhubungan dengan suatu perubahan yang disengaja dalam sistem land tenure (penguasaan dan pemilikan tanah) yaitu penyusunan kembali sistem land tenure, pengawasan hak-hak atas tanah dan lain-lain yang berhubungan dengan tanah.[6]
Redistribusi tanah dilatarbelakangi oleh keadaan dimana terdapat sebagian besar tanah pertanian yang luas dimiliiki oleh beberapa orang saja. Di lain pihak adanya bagian-bagian tanah pertanian yang kecil (tidak luas) yang dimiliki  oleh sebagian besar rakyat khususnya para petani yang sangat menggantungkan kehidupannya dari usaha pertanian yang dikelolanya dan dengan sungguh-sungguh memanfaatkannya. Hal tersebut seperti yang dikemukakan Russel King :

“Redistribusi tanah pada dasarnya merupakan pengambil alihan sebagian atau seluruh tanah tuan-tuan tanah dan pembagian kembali kepada petani-petani yang tidak memiliki tanah atau petani yang mempunyai tanah yang sangat sempit; biasanya diberikan dalam bentuk ladang-ladang kecil yang dimiliki secara pribadi tetapi ada kalanya seperti Ejido di Mexico, diberikan dalam bentuk tanah kepunyaan bersama.”[7]


 Dalam bukunya Asian Drama, Gunnar Myrdal menyatakan, dengan membagi-bagikan tanah kepada para petani penggarap, kita dapat mengharapkan adanya suatu kenaikan intensitas para petani sebagai pemilik tanah yang baru, yang mempunyai tendensi untuk bekerja lebih intensif karena mereka merasa mengerjakan tanahnya sendiri, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan  para petani yang sebenarnya. Berdasarkan defisiensi dan produktivitas, Myrdal menunjukkan pentingnya land reform bagi para petani penggarap di Asia. [8]      
 Pada kenyataannya secara tidak langsung redistribusi tanah dapat mengakibatkan terjadinya suatu peningkatan produksi di bidang pertanian secara tetap dan terus menerus, dengan cara mengakhiri sistem penguasaan tanah secara tidak terbatas dan besar-besaran oleh beberapa orang yang tidak mengerjakan tanahnya secara intensif  atau bahkan mentelantarkan tanahnya serta mempekerjakan buruh tani secara kurang wajar. Redistribusi tanah dalam rangka land reform juga merupakan sarana yang dapat mempengaruhi lingkaran kemiskinan, kebodohan dan stagnasi, dan merupakan suatu permulaan pembaharuan yang pengaruhnya dapat meratakan jalan ke arah perkembangan di bidang pertanian.[9]
           Pelaksanaan redistribusi tanah dalam rangka land reform mempunyai tujuan yang sangat luas meliputi aspek sosial ekonomis, sosial politis dan mental psikologis.
a.  Tujuan sosial ekonomi, meliputi:
1)    Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat Hak Milik serta memberi isi fungsi pada hak milik;
2)    Memperbaiki produktivitas nasional khususnya sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
b.  Tujuan sosial politik, meliputi:
1)    Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus pemilikan tanah yang luas;
2)    Mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil.
c.  Tujuan mental psikologi, meliputi:
1)    Meningkatkan kegairahan kerja petani penggarap dengan cara memberi kepastian hak mengenai pemilikan tanah;
2)    Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dan penggarapnya.[10]
Sedangkan tujuan dari pelaksanaan redistribusi tanah di Indonesia adalah untuk lebih meningkatkan penghasilan dan taraf hidup petani sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur.[11]
           Ketika sejumlah besar tanah yang berkualitas bagus benar-benar didistribusikan kepada mayoritas kaum miskin perdesaan (atau penguasaan atas sebagian besar tanah berkualitas bagus itu direformasi sedemikian rupa sehingga hubungan tuan tanah dan penyewa tanah yang timpang bisa dihapuskan), dibarengi dengan kebijakan-kebijakan perdagangan makro ekonomi dan sektoral yang kondusif bagi terciptanya keberhasilan pertanian keluarga yang ada dan ketika kekuatan elit pedesaan untuk mendistorsi dan ‘mencengkram’ kebijakan-kebijakan telah dipatahkan, maka hasilnya selalu ialah  berkurangnya angka kemiskinan secara nyata dan terukur serta meningkatnya kesejahteraan manusia.[12]Dari gambaran tersebut di atas, kiranya land reform pada suatu daerah atau ruang lingkup wilayah yang lebih luas harus terus dilaksanakan dari waktu ke waktu, untuk mengantisipasi laju pertumbuhan penduduk dan pemenuhan kebutuhan hidup yang turut menyertainya.
Penguatan hak atas tanah yang dimiliki oleh petani serta peningkatan kesejahteraan para petani penerima redistribusi tanah harus terus diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah harus mengupayakan agar kesejahteraan para petani penerima redistribusi tanah dapat terus ditingkatkan, usaha yang dilakukan dapat berupa pembinaan atau pemberiaan bimbingan dan bantuan dalam rangka usaha peningkatan penghasilan petani. Usaha tersebut merupakan usaha yang berkesinambungan dan dilakukan oleh lintas sektoral baik oleh pemerintah, lembaga-lembaga kemasyarakatan maupun oleh pihak swasta yang terkait dengan bidang usaha pertanian guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya para petani pada lokasi redistribusi tanah.
          Pengamatan empiris menunjukkan bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat mencapai tahapan tinggal landas (take-off) menuju pembangunan ekonomi berkelanjutan yang digerakkan oleh sektor industri dan jasa berbasis ilmu dan teknologi modern tanpa didahului dengan pencapaian tahapan pembangunan sektor pertanian yang handal. Sektor pertanian yang handal merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa.


a.   Pelaksanaan Redistribusi Tanah Di Indonesia
Redistribusi tanah yang dilakukan dalam rangka land reform di Indonesia, dilaksanakan oleh suatu Badan Eksekutif yaitu Panitia Pertimbangan Land Reform. Panitia pertimbangan land reform ini dibagi menjadi:
1)    Panitia Pertimbangan Land Reform Pusat, yang diketuai oleh menteri dalam negeri.
2)    Panitia Pertimbangan Land Reform provinsi, yang diketuai oleh gubernur kepala daerah.
3)    Panitia Pertimbangan Land Reform kabupaten/ kotamadya, yang diketuai oleh bupati / walikota 
Pada awalnya panitia ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No.131 Tahun 1961 dan kemudian di ubah melalui  Keputusan Presiden No.262 Tahun 1964. Pada tahun 1980, dengan pertimbangan bahwa panitia land reform yang ada tidak memadai dengan perkembangan dewasa ini, maka ditetapkan organisasi dan tata penyelenggaraannya yang disesuaikan dengan pertimbangan dewasa ini, yaitu melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1980.    Keputusan presiden ini kemudian ditindak lanjuti dengan di keluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri No.37 Tahun 1981 tentang Pembentukan Panitia Pertimbangan Land Reform dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 1981 mengenai Perincian Tugas dan Tata Kerja Pelaksanaan Land Reform.
Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980 Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa pelaksanaan land reform ditugaskan kepada menteri dalam negeri serta para gubernur kepala daerah, bupati/ walikota madya kepala daerah, camat dan kepala desa yang bersangkutan selaku wakil pemerintah pusat di daerah, lebih lanjut mengenai perincian tugas masing-masing diatur dalam Pasal 2, 3, 4 dan 5 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 1981.
Tanah Obyek Land Reform dalam kegiatan redistribusi tanah yang telah dibagikan di seluruh Indonesia sejak periode Tahun 1960 mencapai 1.159.527,273 Ha dengan jumlah penerima 1.510.762 keluarga petani dan rata-rata yang diterima 0,77 Ha.[13] Berdasarkan buku petunjuk pelaksanaan kegiatan redistribusi tanah obyek land reform yang dibuat oleh Direktorat Land Reform Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, tanah-tanah yang dialokasikan untuk kegiatan Redistribusi Tanah Obyek Land Reform, meliputi:
1) Tanah obyek land reform yang belum pernah diredistribusi, meliputi:
a) Tanah-tanah yang terkena ketentuan land reform yang berasal dari kelebihan maksimum, absentee dan bekas swapraja.
b)  Tanah-tanah yang telah ditegaskan menjadi obyek land reform.
2)  Tanah obyek land reform yang telah diredistribusi, namun penerima manfaatnya tidak memenuhi kewajibannya sebagai penerima redistribusi dan Surat keputusan (SK)  redistribusinya telah berusia 15 tahun, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 1997 tentang Penertiban Tanah-tanah Obyek Redistribusi Land Reform.
3)  Tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, yaitu:
a)  Menurut Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor SK.30/Ka/1962 tentang Penegasan Tanah-tanah yang Akan Dibagikan Dalam Rangka Pelaksanaan Land Reform sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 :
(1)   bagian-bagian dari tanah partikelir / eigendom (lebih dari 10 bow. 1 bow = 7,14 Ha) yang terkena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 :
(a)  yang merupakan tanah pertanian;
(b)  yang tidak diberikan kembali kepada bekas pemilik sebagai ganti rugi;dan
(c)  yang tidak dapat diberikan dengan Hak Milik berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958.
(2) Tanah bekas hak erfpacht / Hak Guna Usaha (HGU) :
(a)   yang merupakan tanah pertanian;
(b) yang sekarang sudah dikuasai langsung oleh negara.
b)    Menurut Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan Penegasan Tanah Negara Menjadi Obyek Pengaturan Penguasaan Tanah/Land Reform :
(1)   tanah Negara bebas;
(2)   tanah bekas erfpacht;
(3)   tanah bekas HGU yang telah berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang oleh pemegang hak atau telah dicabut/dibatalkan oleh pemerintah;
(4)   tanah kehutanan yang telah digarap / dikerjakan oleh rakyat dan telah dilepaskan haknya oleh instansi yang bersangkutan;

(5)   tanah bekas gogolan;
(6)   tanah bekas hak adat / ulayat
4) Tanah di lokasi hasil kegiatan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T), yang berpotensi untuk ditindak lanjuti dalam redistribusi tanah.
Sesuai Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan Penegasan Tanah Negara Menjadi Obyek Pengaturan Penguasaan Tanah/Land Reform, maka diberi petunjuk penegasan Tanah Obyek Land Reform sebagai berikut:
1)    Permohonan penegasan Tanah Obyek Land Reform diajukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
2)    Permohonan harus dilampiri dengan surat-surat sebagai berikut:
a)    riwayat tanah yang memuat data-data fisik atas tanah;
b)    Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT);
c)    Peta situasi (hasil pengukuran keliling);
d)    Peta penggunaan tanah;
e)    Daftar nama, alamat, dan luas tanah masing-masing penggarap;
f)     Berita Acara sidang Panitia Pertimbangan Land Reform Daerah Tingkat II, apabila tanah yang dimohon penegasannya pernah disidangkan atau rekomendasi dari bupati / walikota setempat;
g)    Surat Keputusan Pencabutan / Pembatalan Hak Guna Usaha apabila tanah yang diusulkan berasal dari Hak Guna Usaha yang sudah/belum habis masa jangka waktunya dan rekomendasi dari Dinas Perkebunan kabupaten/kota setempat;
h)   Pelepasan hak dari :
(1)  Instansi Kehutanan apabila tanah yang dimohon penegasannya berasal dari tanah kehutanan;
(2)  Kepala / Ketua adat setempat apabila tanah yang dimohon berasal dari bekas tanah adat/ulayat/marga yang diketahui oleh kepala desa dan camat setempat.
3)    Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi meneruskan permohonan tersebut kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional disertai pertimbangannya.
Mengingat terbatasnya luas tanah yang akan di redistribusikan dibandingkan dengan jumlah petani penggarap yang membutuhkan, maka pembagian tanah dalam kegiatan redistribusi diadakan suatu prioritas yaitu urut-urutan dari para petani yang paling membutuhkan dan perlu untuk didahulukan. Sebagaimana dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 menetapan bahwa Tanah Obyek Land Reform yang akan dibagikan dengan hak Milik kepada para petani yang bersangkutan menurut prioritas sebagai berikut :
1)    penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
2)    buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
3)    pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan;
4)    penggarap yang belum sampai 3 (tiga) tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan;
5)    penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik;
6)    penggarap tanah-tanah yang oleh pemerintah diberi peruntukan lain berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) peraturan ini;
7)    Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar;
8)    Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektar;
9)    Petani atau buruh tani lainnya.
Jika dalam tiap-tiap prioritas tersebut di atas terdapat :
1)    petani yang mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak dari dua derajat dengan bekas pemilik, dengan ketentuan sebanyak-banyaknya lima orang;
2)    petani yang terdaftar sebagai veteran;
3)    petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur;
4)    petani yang menjadi korban kekacauan.
maka kepada mereka itu diberikan pengutamaan di atas petani-petani lain yang ada di dalam golongan prioritas yang sama.
Disamping prioritas yang diadakan dalam pembagian tanah tersebut, ditentukan pula mengenai syarat umum dan syarat khusus bagi para petani. Jadi tidak semua petani yang digolongkan dalam prioritas akan mendapatkan tanah, tetapi mereka harus memenuhi syarat-syarat sesuai ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961, yaitu :
1)    syarat-syarat umum ;
a)    warga negara Indonesia;
b)     bertempat tinggal di kecamatan letak tanah yang bersangkutan;
c)    kuat bekerja dalam pertanian.
2)    syarat-syarat khusus :
a)    bagi petani yang tergolong dalam prioritas 1, 2, 5, 6 dan 7 telah mengerjakan tanah yang bersangkutan 3 (tiga) tahun berturut-turut;
b)    bagi petani yang tergolong dalam prioritas 4 telah mengerjakan tanahnya dua musim berturut-turut;
c)    bagi pekerja tetap yang tergoong dalam prioritas 3 telah mengerjakan pada bekas pemilik selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Milik atas Tanah Negara menyatakan bahwa pemberian Hak Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program redistribusi tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota.
Pemberian Hak Milik atas tanah kepada petani penerima redistribusi Tanah Obyek Land Reform diberikan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1)    penerima redistribusi wajib membayar uang pemasukan (untuk Tanah Obyek Land reforrm yang berasal dari tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee);
2)    tanah yang bersangkutan harus diberi tanda-tanda batas;
3)    haknya harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk memperoleh sertipikat;
4)    penerima redistribusi wajib mengerjakan / mengusahakan tanahnya secara aktif;
5)    setelah2 (dua) tahun sejak ditetapkannya Surat Keputusan pemberian haknya wajib dicapai kenaikan hasil tanaman setiap tahunnya sebanyak yang ditetapkan oleh Dinas Pertanian daerah;
6)    yang menerima hak wajib menjadi anggota koperasi pertanian daerah tempat letak tanah yang bersangkutan;
7)    selama uang pemasukannya belum dibayar lunas (untuk Tanah Obyek Land Reform yang  berasal dari tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee), Hak Milik yang diberikan itu dilarang untuk dialihkan kepada pihak lain, jika tidak diperoleh izin terlebih dahulu dari Kepala Kantor Pertanahan kabupaten / kota;
8)    kelalaian dalam memenuhi kewajiban-kewajiban atau pelanggaran terhadap larangan tersebut di atas dapat dijadikan alasan untuk mencabut Hak Milik yang diberikan itu, tanpa pemberian suatu ganti kerugian. Pencabutan Hak Milik itu dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuk olehnya.
Kegiatan redistribusi tidak terhenti sampai pemberian tanda bukti hak atas tanah (sertipikat atau asset reform), namun dilanjutkan dengan memberikan fasilitas untuk membuka akses penerima manfaat terhadap modal, teknologi, pasar, peningkatan kapasitas, manajemen dan pendampingan (acces reform atau pasca redistribusi). Agar tanah yang telah diperoleh oleh penerima manfaat dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin sehingga dapat memberikan hasil yang optimal pula, yang pada gilirannya dapat meningkatkan taraf hidup penerima manfaat.
Kegiatan acces reform perlu direncanakan, diselenggarakan dan dikendalikan secara cermat dan matang baik dalam konteks penyediaan dukungan keuangan (modal), dukungan teknis dan managerial, pemasaran maupun pembinaan lanjutan lainnya. Kegiatan acces reform dapat dilaksanakan pada tahap awal, pertengahan atau akhir kegiatan redistribusi tanah. Namun disarankan acces reform dilaksanakan pada tahap awal sebelum kegiatan redistribusi dimulai, telah melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, begitu pula hubungan kerja sudah terbangun dengan baik. Sehingga sesuai dengan potensi lokasi yang ada sudah terlihat bentuk akses reform yang akan dikembangkan misalnya pemanfaatan tanah untuk apa, pihak-pihak yang turut serta, hak dan kewajibannya, besarnya bantuan modal atau kredit yang akan diberikan oleh lembaga keuangan atau perbankan, bantuan teknis yang diberikan, siapa yang memberikan bimbingan dan pendampingan dan sebagainya. Secara garis besar pelaksanaannya sebagai berikut:
1)    Melakukan penyuluhan.
2)    Melaksanakan inventarisasi dan mengidentifikasi potensi yang ada.
3)    Melakukan fasilitasi dan rapat koordinasi dengan para pemangku kepentingan (stake holders).
4)    Membentuk tim koordinasi akses reform yang beranggotakan para stake holders instansi terkait, pemerintah daerah dll)
5)    Membentuk kelompok tani reforma agraria
6)    Kerjasama / kemitraan dituangkan dalam nota kesepahaman (Mou) antar para pemangku kepentingan (stake holders).
Sebagai contoh beberapa peran serat stake holders dalam rangka acces reform:
a)    Departemen / Dinas Pertanian, antara lain:
(1)  Penyuluhan pertanian;
(2) Penyediaan pupuk, bibit, teknologi pertanian, pemasaran;
b)  Departemen Kehutanan / Dinas Kehutanan, antara lain:
Pelepasan kawasan hutan yang secara nyata di lapangan telah digarap oleh masyarakat selama puluhan tahun.
c) Kementerian Negara Usaha Kecil Menengah (UKM), antara lain:
(1)   Penyediaan dana;
(2)   Pembentukan badan usaha baik koperasi atau badan hukum lainnya;
(3)   Pendampingan manajemen, pemasaran, modal, advokasi.
d)    Departemen / Dinas pekerjaan Umum:
(1)   Pematangan tanah;
(2)   Pembangunan jalan desa dan jalan penghubung ke jalan kabupaten, provinsi dan nasional, jembatan, terminal dan lain sebagainya;
(3)   Pembangunan irigasi dan fasilitas pertanian lainnya;
(4)   Pembangunan pasar.
e)    Lembaga keuangan , antara lain:
(1)   Penyediaan kredit dengan bunga ringan untuk membiayai kegiatan pra redistribusi dan redistribusi
(2)   Penyediaan kredit dengan bunga ringan untuk kegiatan pasca redistribusi, misalnya untuk modal kerja dan lain sebagainya.
f)     Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi petani, antara lain:
(1)   Membantu menyeleksi petani atau penduduk miskin yang memenuhi persyaratan;
(2)   Mencegah masuknya penduduk dari daerah lain ke daerah (desa atau kecamatan) letak tanah yang akan dibagikan;
(3)   Mencegah masuknya para spekulan tanah;
(4)   Pendampingan advokasi, manajemen, teknologi pertanian, pemasaran.
g)   Pihak swasta (dunia usaha), antara lain:
Berbagai bentuk kemitraan yang setara dan menguntungkan masing-masing pihak;

b.     Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Dan Ketidakberhasilan Pelaksanaan Redistribusi Tanah.

Sebagian besar Reforma Agraria dinilai kurang berhasil. Kalau toh dianggap berhasil, ternyata tidak berlangsung lama dan hasilnya tidak terlalu berdampak bagi penghidupan yang berkelanjutan (sustainable) para petani. Mengapa? salah satu sebabnya adalah karena hampir semua Reforma Agraria itu bersifat paternalistik, yakni cenderung menyandarkan diri pada pada kedermawanan pemerintah (reform by grace) semata, akibatnya begitu pemerintah berganti, maka habislah hasil-hasil positif yang mungkin pernah dicapai oleh pelaksanaan Reforma Agraria. Untuk menjamin keberlanjutan reforma agraria agar tidak bergantung pada “pasar politik” semacam ini, maka diperlukan reforma agraria yang didasarkan atas pemberdayaan rakyat “ land reform by leverage” atau “pembaruan agraria melalui dongkrak”.
Pada skala nasional, satu-satunya negara yang bisa dikatakan telah menerapkan reform by leverage ini ( walaupun tidak mengklaim sebagai demikian) adalah Ethopia pada tahun 1975. Di sana, sekalipun undang-undangnya dibuat oleh pemerintah pusat, tetapi pelaksanaannya amat fleksibel. Bahkan wewenang pelaksanaan undang-undang itu tidak berada di tangan pemerintah tetapi di tangan asosiasi tani regional atau bahkan lokal, karena rakyat tani setempatlah yang paham betul bagaimana kondisi daerahnya. Akibatnya di Ethopia, batas maksimum pemilikan tanah sangat beragam, tergantung dari kondisi daerah dan kemauan petani setempat itu sendiri. Di Indonesia, reform by leverage pada skala nasional memang belum ada. Tetapi pada level lokal, setidaknya ada satu kasus pembaruan agraria yang dilakukan atas prakarsa rakyat sendiri, yaitu di Desa Ngandagan, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah, pada Tahun 1946 seorang lurah bernama Sumotirto dengan kewibawaaan dan kebijaksanaan yang dimilikinya menjalankan land reform dan konsolidasi areal perumahan tanpa menunggu instruksi atau ijin dari pemerintahan yang lebih tinggi serta dilaksanakan oleh seluruh warga desa dengan penuh sukarela dan tanggung jawab, sehingga mampu mengubah kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat  desa yang ada di sana.
Perkembangan land reform di Indonesia dalam sejarah pelaksanaannya dan politiknya telah mengalami pasang surut semenjak Tahun 1965. Pada pelaksanaan Repelita III (Tahun 1978/1979 – 1983/1984) dan di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) secara tegas dinyatakan land reform adalah sebagai suatu keharusan politik.
Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) IV kegiatan-kegiatan yang telah dirintis dan dilaksanakan pada Repelita III yang berkaitan dengan program Tata Agraria termasuk di dalamnya kegiatan land reform dilanjutkan, dikembangkan, serta disesuaikan, dengan laju pertumbuhan pembangunan yang semakin meningkat.
Keberhasilan berdasarkan pengalaman berbagai negara dalam melaksanakan reforma agraria (land reform ) menyatakan bahwa kunci keberhasilan reforma agraria, antara lain :
1)    adanya pemahaman tentang konsep reforma agraria sudah dimiliki oleh elite nasional maupun oleh masyarakat pada umumnya;
2)    adanya kemauan politik dan komitmen yang kuat dari pemerintah, dipimpin langsung oleh pemimpin tertinggi negara tersebut;
3)    dipersiapkan secara matang dan dilaksanakan secara konsisten dan bertahap;
4)    tersedianya data keagrariaan dan informasi yang lengkap;
5)    didukung oleh parlemen;
6)    partisipasi semua stake holders;
7)    didukung angkatan bersenjata;
8)    elite penguasa terpisah dari elite bisnis.
Dari semua kunci keberhasilan pelaksanaan Reforma agraria (land reform) seperti yang telah disebutkan di atas, kunci pokok, terpenting dan utama yang di perlukan adalah adanya kemauan politik dan komitmen yang kuat dari pemerintah yang berkuasa / memimpin pada saat itu.
Sedangkan ketidak berhasilan pelaksanaan reforma agraria (land reform) dapat disebabkan oleh :
1)    adanya pertentangan ideologi dan politik;
2)    tidak adanya komitmen yang kuat dari pemerintah;
3)    melupakan proses kesejarahan, nilai budaya, keadaan sosial dan politik;
4)    kuatnya resistensi pemilik tanah, karena langsung mengambil alih tanah-tanah yan terkena ketentuan land reform;
5)    tidak dipersiapkan secara matang.
Untuk melaksanakan kemauan politik pemerintah, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai instansi / lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan di bidang pertanahan baik secara nasional, regional dan sektoral sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2008 tentang Badan Pertanahan Nasional, dalam Pasal 3 huruf k menyatakan : untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BPN menyelenggarakan fungsi kerja sama dengan lembaga-lembaga lain. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dalam melaksanakan tugasnya BPN perlu bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain.
Badan Pertanahan Nasional dalam melaksanakan kegiatan redistribusi tanah hanya sebatas melakukan pembagian tanah kepada petani yang dilengkapi dengan pemberian bukti kepemilikan atas tanah ( hak atas tanah ) berupa sertipikat. Namun redistribusi tanah akan lebih berhasil dan mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan apabila BPN didukung oleh lembaga / instansi latau pihak swasta lain misalnya dalam hal modal produksi / bantuan kredit, pengetahuan pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian dan perbaikan sistim pemasaran serta dukungan infrastruktur. Program pendukung tersebut di kenal dengan program Pasca Redistribusi (acces reform).
Program Pasca  Redistribusi Tanah dimaksudkan untuk memastikan bahwa kegiatan redistribusi tanah dapat memberikan manfaat sebagaimana mestinya (acces reform) kepada para petani untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian dalam usaha pertanian yang ia kerjakan. Dibutuhkan langkah-langkah program pembinaan pasca redistribusi tanah sebagai berikut :
1)    Pengembangan dan pemeliharaan infrastruktur sarana dan prasarana produksi, jalan, irigasi, pengolahan hasil pertanian, pasar, air bersih, listrik, fasilitas sosial.
2)    Pembinaan subyek antara lain :
a)    pembinaan usaha tani;
b)    pembelajaran dan fasilitasi akses permodalan dan pemasaran;
c)    pembinaan kesadaran untuk memelihara sarana dan prasarana yang sudah dibangun;
d)     dan lain-lain
Program-program pendukung tersebut di atas diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi para petani penerima redistribusi tanah untuk dapat meraih keberhasilan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.


[1] BPN-RI, Reforma agraria Mandat politik, konstitusi dan hukum dalam rangka   mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, 2007, hal.i16.

[2]  BPN-RI Reforma agraria Mandat politik, konstitusi dan hukum dalam rangka mewujudkan  “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”,  2007, hal.17.
[3] BPN-RI, Pengembangan dan Pemantapan Program Strategis BPN-RI, Pemaparan   Kepala BPN-RI pada pembukaan Rakernas, 2010, hal.17
[4] Ibid, hal.22
[5] Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Rajawali Press,   1985,   hal.11
[6] Ibid, hal.19.
[7] Ibid, hal.25.
[8] Ibid, hal.4.
[9] Ibid, hal.4.
[10] BPN-RI, Reforma agraria Mandat politik, konstitusi dan hukum dalam rangka mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”  2007, hal.19.
[11]  Ibid, hal.20.
[12] Peter Roset, et al, Reforma agraria Dinamika Aktor dan kawasan: STPN, 2008,hal.139.
[13] Direktorat Pengaturan Penguasaan Tanah, Tanah Obyek Laind Reform di Indonersia.2005, hal.5.